Sembahyang itu adalah tiang agama dan tempat berlindung segala keyakinan. Ia juga Penghulu dari segala amal kebaktian dan ketaatan. Semua usul-usulnya (pokok-pokoknya) dan furu’-furu’nya (cabang-cabangnya) telah pun terkumpul di dalam mata pelajaran ilmu fiqh. Di sini kita hanya menyingkatkan pembicaraan kepada perkara-perkara yang perlu saja bagi para pelajar, iaitu membicarakan amalan-amalan sembahyang dan rahsia-rahsia kebatinan sembahyang semata-mata.
KEUTAMAAN AZAN
Telah bersabda Rasulullah SAW: “Tiada seorang jin atau manusia atau benda apapun yang mendengar suara pangilan azan itu, melainkan dia akan menyaksikannya di Hari Kiamat kelak.”
KEUTAMAAN AZAN
Telah bersabda Rasulullah SAW: “Tiada seorang jin atau manusia atau benda apapun yang mendengar suara pangilan azan itu, melainkan dia akan menyaksikannya di Hari Kiamat kelak.”
.
Sabdanya lagi: “Apabila kamu mendengar suara azan, maka ucapkanlah sepertimana yang diucapkan oleh muazzin itu sendiri.”
Menyahut azan sama seperti kata-kata muazzin itu adalah dituntut dan sunat, kecuali pada hai’alataini maka hendaklah dijawab dengan kata: “Tiada daya dan kekuatan, melainkan dengan pertolongan Allah.” Dan pada kata-kata ‘Qadqamatis-Solah’ dijawab pula: “Semoga Allah mendirikannya (sembahyang) dan mengekalkannya.” Dan pada kata-kata: ‘Ash-Solatu Khairun Minan-naum’ pula dijawab: “Engkau telah berkata benar dan berbakti.”
Sesudah azan, hendaklah ia membaca: “Ya Allah, Tuhannya doa yang sempurna ini, dan juga shalat yang berdiri ini. Kurniakanlah Nabi Muhammad kedudukan yang tinggi serta kehormatan. Dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji (Maqam Mahmud) yang Engkau janjikan baginya.”
KEUTAMAAN SEMBAHYANG FARDHU
Allah berfirman: “Sesungguhnya sembahyang itu merupakan kewajiban yang ditentukan atas kaum Mukminin.” (an-Nisa : 103)
.
KEUTAMAAN SEMBAHYANG FARDHU
Allah berfirman: “Sesungguhnya sembahyang itu merupakan kewajiban yang ditentukan atas kaum Mukminin.” (an-Nisa : 103)
.
Rasulullah SAW pula bersabda: “Sembahyang-sembahyang yang lima dan demikian pula satu Jum’at sampai satu Jum’at yang lain menjadi tebusan dosa antara masing-masing sembahyangnya, selama dijauhi dosa-dosa besar.” Baginda juga pernah ditanya: "Apakah amalan yang paling utama?" Baginda menjawab: “Sembahyang pada waktunya.”
Khalifah Abu Bakar as-Siddiq pula berkata: "Apabila sampai waktu sembahyang, maka segeralah mendapatkan api yang kamu nyalakan itu seraya memadamkannya."
KEUTAMAAN MENYEMPURNAKAN RUKUN2 SEMBAHYANG
Bersabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa menunaikan sembahyang pada waktunya dan melengkapkan wuduknya serta menyempurnakan rukuknya, sujudnya dan khusyuknya, nescaya sembahyang itu akan terangkat (ke atas langit) dalam keadaan putih dan cemerlang. Ujar sembahyang itu: "Semoga Allah memelihara engkau, sebagaimana engkau memelihara aku." Barangsiapa menunaikan sembahyang di luar waktunya dan tiada pula melengkapkan wuduknya serta tiada menyempurnakan rukuknya, sujudnya dan khusyuknya, nescaya sembahyang itu akan terangkat dalam keadaan hitam legam. Ujar sembahyang itu: "Semoga Allah menyia-nyiakan engkau, sebagaimana engkau menyia-nyiakan aku." Apabila ia telah sampai ke tempat yang ditetapkan oleh Allah, maka ia pun dilipat-lipat, sebagaimana dilipatkan baju-baju yang koyak, lalu dipukulkanlah sembahyang itu ke muka orang yang melakukannya.”
KEUTAMAAN BERJEMAAH
Bersabda Rasulullah SAW: “Sembahyang berjemaah itu melebihi sembahyang bersendiri dengan 27 darjat.” Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahawa Rasulullah pernah mengesan beberapa orang tidak ikut serta dalam jemaah, lalu baginda berkata: "Saya hampir-hampir akan memerintahkan orang lain untuk mengimami orang ramai dalam sembahyang, kemudian saya pergi mendapatkan orang-orang yang melewat-lewatkannya (sembahyang berjamaah), lalu saya membakar rumah-rumah mereka."
Dalam sebuah Hadis Marfu’ yang diriwayatkan oleh Khalifah Usman r.a. dari Rasulullah SAW bunyinya: "Barangsiapa yang mengerjakan sembahyang Isya’ berjemaah, maka ia seolah-olah mendirikan ibadat sepanjang malam itu."
Berkata Muhammad bin Wasi: "Saya tiada menginginkan dunia melainkan pada tiga perkara saja:
(1) Seorang saudara yang apabila saya membuat bengkok (salah), dia akan meluruskan (membetulkan) saya.
(2) Makan dari rezeki yang halal.
(3) Sembahyang dalam berjemaah yang akan diangkat daripadaku semua kelalaianku dan dituliskan bagiku pahala."
.
Khalifah Abu Bakar as-Siddiq pula berkata: "Apabila sampai waktu sembahyang, maka segeralah mendapatkan api yang kamu nyalakan itu seraya memadamkannya."
KEUTAMAAN MENYEMPURNAKAN RUKUN2 SEMBAHYANG
Bersabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa menunaikan sembahyang pada waktunya dan melengkapkan wuduknya serta menyempurnakan rukuknya, sujudnya dan khusyuknya, nescaya sembahyang itu akan terangkat (ke atas langit) dalam keadaan putih dan cemerlang. Ujar sembahyang itu: "Semoga Allah memelihara engkau, sebagaimana engkau memelihara aku." Barangsiapa menunaikan sembahyang di luar waktunya dan tiada pula melengkapkan wuduknya serta tiada menyempurnakan rukuknya, sujudnya dan khusyuknya, nescaya sembahyang itu akan terangkat dalam keadaan hitam legam. Ujar sembahyang itu: "Semoga Allah menyia-nyiakan engkau, sebagaimana engkau menyia-nyiakan aku." Apabila ia telah sampai ke tempat yang ditetapkan oleh Allah, maka ia pun dilipat-lipat, sebagaimana dilipatkan baju-baju yang koyak, lalu dipukulkanlah sembahyang itu ke muka orang yang melakukannya.”
KEUTAMAAN BERJEMAAH
Bersabda Rasulullah SAW: “Sembahyang berjemaah itu melebihi sembahyang bersendiri dengan 27 darjat.” Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahawa Rasulullah pernah mengesan beberapa orang tidak ikut serta dalam jemaah, lalu baginda berkata: "Saya hampir-hampir akan memerintahkan orang lain untuk mengimami orang ramai dalam sembahyang, kemudian saya pergi mendapatkan orang-orang yang melewat-lewatkannya (sembahyang berjamaah), lalu saya membakar rumah-rumah mereka."
Dalam sebuah Hadis Marfu’ yang diriwayatkan oleh Khalifah Usman r.a. dari Rasulullah SAW bunyinya: "Barangsiapa yang mengerjakan sembahyang Isya’ berjemaah, maka ia seolah-olah mendirikan ibadat sepanjang malam itu."
Berkata Muhammad bin Wasi: "Saya tiada menginginkan dunia melainkan pada tiga perkara saja:
(1) Seorang saudara yang apabila saya membuat bengkok (salah), dia akan meluruskan (membetulkan) saya.
(2) Makan dari rezeki yang halal.
(3) Sembahyang dalam berjemaah yang akan diangkat daripadaku semua kelalaianku dan dituliskan bagiku pahala."
.
Al-Hasan pula berkata: "Jangan kamu bersembahyang di belakang seorang yang tidak sering mendatangi para ulama."
Ibnu Abbas r.a. berkata: "Barangsiapa mendengar suara muazzin, sedangkan dia tiada menjawabnya (menurut pergi sembahyang berjemaah), nyatalah ia tiada mencintai kebaikan, dan tentu sekali kebaikan juga tidak akan mencintainya."
KEUTAMAAN SUJUD
Rasulullah SAW bersabda: “Tiada seorang Muslim pun yang bersujud kepada Allah sekali sujud saja, melainkan Allah mengangkatkan baginya satu darjat (pahala) dan menghapuskan satu keburukan (dosa).” Dan sabdanya lagi: “Seseorang hamba paling dekat dengan Tuhannya sewaktu ia bersujud, maka perbanyakkanlah berdoa ketika itu.”
.
Ibnu Abbas r.a. berkata: "Barangsiapa mendengar suara muazzin, sedangkan dia tiada menjawabnya (menurut pergi sembahyang berjemaah), nyatalah ia tiada mencintai kebaikan, dan tentu sekali kebaikan juga tidak akan mencintainya."
KEUTAMAAN SUJUD
Rasulullah SAW bersabda: “Tiada seorang Muslim pun yang bersujud kepada Allah sekali sujud saja, melainkan Allah mengangkatkan baginya satu darjat (pahala) dan menghapuskan satu keburukan (dosa).” Dan sabdanya lagi: “Seseorang hamba paling dekat dengan Tuhannya sewaktu ia bersujud, maka perbanyakkanlah berdoa ketika itu.”
.
Allah berfirman: “Tanda-tanda mereka ada di wajah mereka tersebab dari bekas (banyaknya) bersujud.” (al-Fath: 29) Yakni cahaya atau nur kekhusyukan mereka, kerana cahaya inilah yang dikatakan memancar dari batiniah seseorang, lalu terpapar di lahiriahnya.
KEWAJIPAN BERKHUSYUK
KEWAJIPAN BERKHUSYUK
Allah berfirman: “Dan dirikanlah sembahyang itu kerana mengingatiku.” (Tha Ha: 14) Mematuhi perintah itu adalah wajib dan kelalaian dalam sembahyang bertentangan dengan maksud mengingati Allah. Bagaimana seseorang itu dikatakan mendirikan sembahyang untuk mengingati Tuhan, sedangkan ia lalai dan lena dalam sembahyangnya.
Allah berfirman lagi: “Dan janganlah kamu termasuk golongan orang-orang yang lalai.” (al-A’raaf: 205)
Allah berfirman lagi: “Dan janganlah kamu termasuk golongan orang-orang yang lalai.” (al-A’raaf: 205)
.
“Sebenarnya telah menanglah orang-orang Mukminin yang berkhusyuk dalam sembahyang mereka.” (al-Mukminun: 1-2)
.
.
Allah telah mengkategorikan khusyuk dalam sembahyang itu sebagai tingkat yang paling tinggi sekali dari tingkat-tingkat kejayaan. Ini adalah sebagai suatu peringatan kepada orang-orang yang lena dan lalai dalam sembahyangnya, bahawa mereka itu adalah berada paling bawah sekali dari tingkat-tingkat kemenangan dari kejayaan yang dimaksudkan dalam ertikata “al-Falah”.
Sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya sembahyang itu adalah ketenangan hati dan kerendahan diri dan permohonan jiwa, dan anda mengangkat kedua belah tanganmu berkata: "Ya Tuhanku! Ya Tuhanku!" Barangsiapa tiada melakukan serupa itu, maka sembahyangnya tidak sempurna (kurang syarat-syaratnya).”
Sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya sembahyang itu adalah ketenangan hati dan kerendahan diri dan permohonan jiwa, dan anda mengangkat kedua belah tanganmu berkata: "Ya Tuhanku! Ya Tuhanku!" Barangsiapa tiada melakukan serupa itu, maka sembahyangnya tidak sempurna (kurang syarat-syaratnya).”
.
Sabda lain: “Barangsiapa yang bersembahyang, padahal sembahyangnya itu tiada dapat mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar, maka orang itu tiada akan bertambah sesuatu dari Allah melainkan jauh daripadaNya.”
.
.
Diceritakan suatu peristiwa dari Muslim bin Yasar, bahawasanya pada suatu hari dia bersembahyang di Masjid Basrah, maka dengan tiba-tiba dinding masjid itu runtuh, sekalian orang-orang di pasar (yang berdekatan dengan masjid itu) merasa terkejut kerana kerasnya bunyi keruntuhan itu, akan tetapi Muslim yang sedang mengerjakan sembahyang itu tetap pada tempatnya, menoleh pun tidak. Sesudah sembahyang, apabila dilihatnya orang ramai mengucapkan selamat kepadanya, dia merasa hairan. Katanya: "Saya tidak tahu atau rasa dinding itu runtuh."
Berkata Ibnu Abbas: "Dua rakaat dalam tafakkur (mengingatkan kebesaran dan kekuasaan Allah Ta’ala) lebih baik daripada beribadat sepanjang malam sedang hatinya lalai."
KEUTAMAAN MASJID & TEMPAT SEMBAHYANG
Allah berfirman: “Hanyasanya yang meramaikan masjid-masjid Allah, ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat.” (at-Taubah: 18)
.
Berkata Ibnu Abbas: "Dua rakaat dalam tafakkur (mengingatkan kebesaran dan kekuasaan Allah Ta’ala) lebih baik daripada beribadat sepanjang malam sedang hatinya lalai."
KEUTAMAAN MASJID & TEMPAT SEMBAHYANG
Allah berfirman: “Hanyasanya yang meramaikan masjid-masjid Allah, ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat.” (at-Taubah: 18)
.
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa mendirikan masjid kerana Allah, sekalipun seperti pondok ayam, nescaya Allah akan mendirikan baginya rumah dalam syurga.”
.
.
Sabdanya lagi: “Apabila seseorang di antara kamu memasuki masjid, maka hendaklah ia sembahyang dua rakaat sebelum ia duduk.”
.
.
Sabdanya lagi: “Tiada akan sempurnalah sembahyang orang yang bertetangga dengan masjid, melainkan di dalam masjid.”
.
.
Sabdanya lagi: “Akan datang kepada manusia suatu masa, mereka akan duduk-duduk dalam masjid, mereka membicarakan tentang hal-ehwal keduniaan, ketahuilah bahawa Allah tiada berhajat kepada orang-orang serupa itu, maka hendaklah kamu menjauhkan diri daripadanya.”
PERBUATAN2 DALAM SEMBAHYANG
Apabila seseorang yang hendak sembahyang itu selesai dari berwuduk, mensucikan diri daripada semua najis-najis dan kotoran yang berada di badan, tempat dan pakaian, demikian pula sudah bersedia menutup aurat dari pusat ke lutut, hendaklah ia berdiri tegak, menghadapkan mukanya ke arah kiblat.
Sebaiknya ia bersembahyang dekat dengan dinding tembok, kerana yang demikian itu memendekkan jarak pemandangan. Hendaklah ia mencegah fikiran dari bercabang-cabang kepada yang lain, manakala penglihatannya hanya bertumpu kepada tempat sujud belaka. Hendaklah berdirinya itu tetap serupa ini, sehingga sampai waktu melakukan rukuk tanpa menoleh ke mana pun jua.
Kemudian, barulah ia meniatkan menunaikan sembahyang dalam hatinya, sambil mengangkat kedua tangannya setentang dengan dua bahunya. Kedua tapak tangannya diarahkan ke arah kiblat; semua jari-jarinya dibukakan tidak digenggamkan, tidak dipaksakan sehingga menjadi terlampau renggang atau terlampau kuncup, tetapi dibiarkan sekadar kebiasaannya saja, dan dia pun bertakbirlah.
Sebaik-baik selesai bertakbir, dia pun meletakkan kedua tangannya ke atas dada dengan tangan kanan diletakkan ke atas tangan kiri, dan janganlah dia mengerakkan kedua tangannya secara kasar dalam bertakbir itu, melainkan dibiarkannya naik dan turun perlahan-lahan dengan lemah-lembut sekali.
Dalam menyebutkan Allahu Akbar hendaklah hanya dibacakan dengan baris dhommah yakni 'hu' (Allahu). Dan 'hu' itu dibaca dengan sederhana tidak ditekankan sangat. Hendaklah tidak disambungkan 'hu'nya dengan alif sehingga berbunyi semacam 'wau' (Allahuakbar), ataupun dipanjangkan ba’ dari Akbar dan ra’nya seolah-olah dia menyebut: Akbaar: Dan hendaklah dimatikan (disukunkan) huruf ra’ pada Akbar itu dan jangan di dhommahkan; yakni dia menyebut: Allahu Akbar bukan Allahu Akbaru.
PEMBACAAN DALAM SEMBAHYANG
Selanjutnya dia memulakan membaca doa iftitah sebaik-baik saja selesai bertakbir dengan membaca: “Allah Maha Besar sebesar-besarnya, dan segala kepujian bagi Allah sebanyak-banyaknya, dan Maha Suci Allah di waktu pagi dan petang.”
PERBUATAN2 DALAM SEMBAHYANG
Apabila seseorang yang hendak sembahyang itu selesai dari berwuduk, mensucikan diri daripada semua najis-najis dan kotoran yang berada di badan, tempat dan pakaian, demikian pula sudah bersedia menutup aurat dari pusat ke lutut, hendaklah ia berdiri tegak, menghadapkan mukanya ke arah kiblat.
Sebaiknya ia bersembahyang dekat dengan dinding tembok, kerana yang demikian itu memendekkan jarak pemandangan. Hendaklah ia mencegah fikiran dari bercabang-cabang kepada yang lain, manakala penglihatannya hanya bertumpu kepada tempat sujud belaka. Hendaklah berdirinya itu tetap serupa ini, sehingga sampai waktu melakukan rukuk tanpa menoleh ke mana pun jua.
Kemudian, barulah ia meniatkan menunaikan sembahyang dalam hatinya, sambil mengangkat kedua tangannya setentang dengan dua bahunya. Kedua tapak tangannya diarahkan ke arah kiblat; semua jari-jarinya dibukakan tidak digenggamkan, tidak dipaksakan sehingga menjadi terlampau renggang atau terlampau kuncup, tetapi dibiarkan sekadar kebiasaannya saja, dan dia pun bertakbirlah.
Sebaik-baik selesai bertakbir, dia pun meletakkan kedua tangannya ke atas dada dengan tangan kanan diletakkan ke atas tangan kiri, dan janganlah dia mengerakkan kedua tangannya secara kasar dalam bertakbir itu, melainkan dibiarkannya naik dan turun perlahan-lahan dengan lemah-lembut sekali.
Dalam menyebutkan Allahu Akbar hendaklah hanya dibacakan dengan baris dhommah yakni 'hu' (Allahu). Dan 'hu' itu dibaca dengan sederhana tidak ditekankan sangat. Hendaklah tidak disambungkan 'hu'nya dengan alif sehingga berbunyi semacam 'wau' (Allahuakbar), ataupun dipanjangkan ba’ dari Akbar dan ra’nya seolah-olah dia menyebut: Akbaar: Dan hendaklah dimatikan (disukunkan) huruf ra’ pada Akbar itu dan jangan di dhommahkan; yakni dia menyebut: Allahu Akbar bukan Allahu Akbaru.
PEMBACAAN DALAM SEMBAHYANG
Selanjutnya dia memulakan membaca doa iftitah sebaik-baik saja selesai bertakbir dengan membaca: “Allah Maha Besar sebesar-besarnya, dan segala kepujian bagi Allah sebanyak-banyaknya, dan Maha Suci Allah di waktu pagi dan petang.”
.
Ataupun boleh dibaca doa ini: “Aku menghadapkan mukaku kepada yang menjadikan langit dan bumi dalam keadaan cenderung dan terserah dan tiadalah aku dari golongan orang-orang musyrikin. Sesungguhnya sembahyangku dan ibadatku, hidupku dan matiku kerana Allah, Tuhan seru sekalian alam, tiada sekutu bagiNya, dan demikian itulah aku diperintahkan dan aku termasuk golongan kaum Muslimin.”
.
Ataupun boleh membaca doa ini juga: “Maha Suci Engkau wahai Tuhanku dengan kepujian bagiMu dan Maha Berkat NamaMu, Maha Luhur keputusanMu, Maha Tinggi pujian-pujianMu dan tiada Tuhan selain dariMu.”
.
.
Kemudian membaca pula: “Aku memohon perlindungan kepada Allah daripada godaan syaitan yang terkutuk.” Seterusnya, hendaklah dia membaca al-Fatihah, setelah selesai, ucapkanlah pula Amiin yang bererti: "Kabulkanlah!" Tetapi jangan pula dia menyambungkan (mewashalkan) kalimat Amiin itu dengan kalimah Waladh-dhalliin.
Al-Fatihah dan surah itu hendaklah dibaca dengan jahar; iaitu dengan suara yang nyaring pada sembahyang-sembahyang Subuh, Maghrib dan Isyak, kecuali jika dia menjadi makmum dalam sembahyang berjemaah. Bacaan Amiin juga hendaklah dibaca dengan jahar.
Sesudah itu, dia membaca satu surah ataupun sekadar tiga ayat atau lebih dari al-Quran. Jangan pula dia menyambung bacaan surah dengan takbir rukuk, tetapi hendaklah dia memisahkan antara keduanya sekadar bacaan Subhanallah.
Pada sembahyang subuh, sebaik-baiknya dia membaca surah yang panjang dari surah-surah al-Mufashshal**. Pada sembahyang maghrib pula dia membaca surah-surah yang pendek. Manakala pada sembahyang-sembahyang Zohor, Asar dan Isyak, dia membaca surah-surah yang sederhana pula.
** Surah-surah al-Mufashshal seperti yang ditentukan oleh para ulama dari surah al-Hujurat hingga ke akhir juz 29 dari al-Quran (akhir surah Tabarak sebelum ‘Amma). Surah-surah yang sederhana dari awal juz 30 (‘Amma) hingga ke surah Wadhdhuha. Manakala surah-surah yang pendek pula ialah dari surah Wadhdhuha hingga akhir juz 30; iaitu surah an-Nas.
Pada sembahyang Subuh, bila dalam pelayaran dibaca surah al-Kafirun dan al-Ikhlas, termasuklah juga pada sembahyang-sembahyang sunat dua rakaat fajar (sebelum Subuh), dua rakaat tawaf dan dua rakaat tahiyat masjid.
RUKUK DAN EKORAN-EKORANNYA
Sesudah itu, dia pun rukuk, dan hendaklah dia membuat beberapa perkara ketika melakukan rukuk itu; iaitu mula-mula mengucap takbir untuk rukuk; mengangkat kedua belah tangannya ketika mengucapkan takbir tadi, takbirnya dipanjangkan sedikit sehingga sempurna rukuknya.
Kedua belah tapak tangannya pula diletakkan ke atas kedua lutut, sedang seluruh jari-jarinya diluruskan berhadapan ke hala kiblat, menjulur di sepanjang betis, manakala kedua lututnya berdiri tegak tidak membengkok. Belakangnya pula diratakan jangan sampai kepalanya lebih rendah atau lebih tinggi dari belakangnya. Kedua sikunya direnggangkan dari kedua rusuknya. Kaum wanita hendaklah merapatkan kedua sikunya kepada kedua rusuknya.
Di waktu ruku’ itu, hendaklah membaca: “Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung.” Ini dibaca tiga kali, dan kalau hendak ditambah kepada tujuh atau sepuluh kali pun baik juga, tetapi jika bukan menjadi imam.
Kemudian dia bangkit dari ruku’ untuk berdiri semula serta mengangkat kedua tangannya dengan berkata: “Allah telah mendengar orang yang memujiNya.”
.
Al-Fatihah dan surah itu hendaklah dibaca dengan jahar; iaitu dengan suara yang nyaring pada sembahyang-sembahyang Subuh, Maghrib dan Isyak, kecuali jika dia menjadi makmum dalam sembahyang berjemaah. Bacaan Amiin juga hendaklah dibaca dengan jahar.
Sesudah itu, dia membaca satu surah ataupun sekadar tiga ayat atau lebih dari al-Quran. Jangan pula dia menyambung bacaan surah dengan takbir rukuk, tetapi hendaklah dia memisahkan antara keduanya sekadar bacaan Subhanallah.
Pada sembahyang subuh, sebaik-baiknya dia membaca surah yang panjang dari surah-surah al-Mufashshal**. Pada sembahyang maghrib pula dia membaca surah-surah yang pendek. Manakala pada sembahyang-sembahyang Zohor, Asar dan Isyak, dia membaca surah-surah yang sederhana pula.
** Surah-surah al-Mufashshal seperti yang ditentukan oleh para ulama dari surah al-Hujurat hingga ke akhir juz 29 dari al-Quran (akhir surah Tabarak sebelum ‘Amma). Surah-surah yang sederhana dari awal juz 30 (‘Amma) hingga ke surah Wadhdhuha. Manakala surah-surah yang pendek pula ialah dari surah Wadhdhuha hingga akhir juz 30; iaitu surah an-Nas.
Pada sembahyang Subuh, bila dalam pelayaran dibaca surah al-Kafirun dan al-Ikhlas, termasuklah juga pada sembahyang-sembahyang sunat dua rakaat fajar (sebelum Subuh), dua rakaat tawaf dan dua rakaat tahiyat masjid.
RUKUK DAN EKORAN-EKORANNYA
Sesudah itu, dia pun rukuk, dan hendaklah dia membuat beberapa perkara ketika melakukan rukuk itu; iaitu mula-mula mengucap takbir untuk rukuk; mengangkat kedua belah tangannya ketika mengucapkan takbir tadi, takbirnya dipanjangkan sedikit sehingga sempurna rukuknya.
Kedua belah tapak tangannya pula diletakkan ke atas kedua lutut, sedang seluruh jari-jarinya diluruskan berhadapan ke hala kiblat, menjulur di sepanjang betis, manakala kedua lututnya berdiri tegak tidak membengkok. Belakangnya pula diratakan jangan sampai kepalanya lebih rendah atau lebih tinggi dari belakangnya. Kedua sikunya direnggangkan dari kedua rusuknya. Kaum wanita hendaklah merapatkan kedua sikunya kepada kedua rusuknya.
Di waktu ruku’ itu, hendaklah membaca: “Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung.” Ini dibaca tiga kali, dan kalau hendak ditambah kepada tujuh atau sepuluh kali pun baik juga, tetapi jika bukan menjadi imam.
Kemudian dia bangkit dari ruku’ untuk berdiri semula serta mengangkat kedua tangannya dengan berkata: “Allah telah mendengar orang yang memujiNya.”
.
Tegak berdiri semula pada i’tidal dan bertenang sebentar, kemudian membaca:
“Ya Tuhanku, bagiMu segala kepujian sepenuh langit dan sepenuh bumi dan sepenuh antara keduanya dan sepenuh semua kemahuanMu dari sesuatu benda sesudah itu.”
.
“Ya Tuhanku, bagiMu segala kepujian sepenuh langit dan sepenuh bumi dan sepenuh antara keduanya dan sepenuh semua kemahuanMu dari sesuatu benda sesudah itu.”
.
Dalam sembahyang Subuh, hendaklah dia membaca doa qunut pada waktu i’tidal dalam rakaat keduanya; iaitu dari doa-doa yang dituntun dari Nabi SAW.
SUJUD
Selesai yang di atas, hendaklah ia melakukan sujud dengan membaca takbir lagi; iaitu menunduk ke bawah dengan meletakkan kedua lututnya di atas tanah, kemudian dahinya dan kedua tapak tangannya secara tidak tertutup pula. Dan janganlah ia mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir, kecuali pada melakukan rukuk saja.
Bagi kaum lelaki, kedua sikunya hendaklah direnggangkan dari kedua rusuknya, tetapi bagi kaum wanita, hendaklah dirapatkan (seperti dalam rukuk tadi). Begitu pula pada kedua kakinya, hendaklah direnggangkan juga, tetapi kaum wanita tiada merenggangkannya; perutnya pula diangkatkan dari kedua pahanya manakala kaum wanita merapatkannya.
Seterusnya bagi orang yang bersujud itu, hendaklah ia meletakkan kedua tangannya di atas tanah setentang dengan kedua bahunya, dan janganlah ia merenggangkan antara jari-jarinya malah dirapatkannya, dan kedua lengannya jangan sampai didudukkan di atas tanah, dan hendaklah ia membaca: “Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi.” Ini dibaca tiga kali. Kalau dilebihkan pula baik kecuali jika ia menjadi imam. Kemudian ia bangkit dari sujud, lalu duduk sebentar dengan bertentang, iaitu sama sebagaimana melakukan i’tidal.
Sesudah sujud tadi, hendaklah mengucapkan takbir lagi seraya mengangkat kepala terus duduk atas kaki kirinya, sambil tumit kanannya didirikan. Kedua tangannya diletakkan di atas kedua pahanya dan jari-jarinya diluruskan; dibuat semua ini secara biasa saja, jangan dipaksa menguncupkan atau merenggangkannya, seraya berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah aku, kasihanilah aku, berikanlah aku rezeki, berikanlah aku petunjuk, cukupkanlah keperluanku, sihatkanlah aku dan maafkanlah kesalahanku.”
SUJUD
Selesai yang di atas, hendaklah ia melakukan sujud dengan membaca takbir lagi; iaitu menunduk ke bawah dengan meletakkan kedua lututnya di atas tanah, kemudian dahinya dan kedua tapak tangannya secara tidak tertutup pula. Dan janganlah ia mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir, kecuali pada melakukan rukuk saja.
Bagi kaum lelaki, kedua sikunya hendaklah direnggangkan dari kedua rusuknya, tetapi bagi kaum wanita, hendaklah dirapatkan (seperti dalam rukuk tadi). Begitu pula pada kedua kakinya, hendaklah direnggangkan juga, tetapi kaum wanita tiada merenggangkannya; perutnya pula diangkatkan dari kedua pahanya manakala kaum wanita merapatkannya.
Seterusnya bagi orang yang bersujud itu, hendaklah ia meletakkan kedua tangannya di atas tanah setentang dengan kedua bahunya, dan janganlah ia merenggangkan antara jari-jarinya malah dirapatkannya, dan kedua lengannya jangan sampai didudukkan di atas tanah, dan hendaklah ia membaca: “Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi.” Ini dibaca tiga kali. Kalau dilebihkan pula baik kecuali jika ia menjadi imam. Kemudian ia bangkit dari sujud, lalu duduk sebentar dengan bertentang, iaitu sama sebagaimana melakukan i’tidal.
Sesudah sujud tadi, hendaklah mengucapkan takbir lagi seraya mengangkat kepala terus duduk atas kaki kirinya, sambil tumit kanannya didirikan. Kedua tangannya diletakkan di atas kedua pahanya dan jari-jarinya diluruskan; dibuat semua ini secara biasa saja, jangan dipaksa menguncupkan atau merenggangkannya, seraya berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah aku, kasihanilah aku, berikanlah aku rezeki, berikanlah aku petunjuk, cukupkanlah keperluanku, sihatkanlah aku dan maafkanlah kesalahanku.”
.
Kemudian dia membuat pula sujud kedua semacam itu. Sesudah itu dia meneruskan sembahyangnya dengan rakaat-rakaat berikutnya, seperti yang pertama memulakan dengan ta’awwuz.
TASYAHHUD
Selesai dua rakaat dari sembahyangnya, dia pun melakukan tasyahhud pertama di mana dia membacakan salawat ke atas Rasulullah SAW dan ke atas keluarganya. Dalam bertasyahhud itu, kedua belah tangannya diletakkan di atas kedua lututnya, sedang semua jari-jari tangan kanannya digenggamkan melainkan jari telunjuk yang harus ditunjukkan ke hadapan ketika sampai membaca 'illallah'. Dalam bertasyahhud awal ini hendaklah dia duduk di atas kakinya yang kiri, seperti cara duduknya antara dua sujud.
Kemudian dalam tasyahhud akhir pula, hendaklah dia membaca kesemua doa-doa yang dituntun dari Rasulullah SAW, iaitu sesudah selesai membaca selawat ke atas Rasulullah SAW dan keluarganya.
Di waktu tasyahhud ini pula, hendaklah dia mendudukkan punggung kirinya sebab sesudah ini tidak perlu bangkit lagi, malah dia tetap duduk saja sehingga selesai sembahyangnya. Selain itu, hendaklah dia meletakkan kaki kanannya di atas kaki kiri, manakala hujung kaki kirinya dikeluarkan sedikit dari bawah kaki kanannya itu.
Setelah selesai semua bacaan dalam tasyahhud ini, dia pun bersalam: “Selamat sejahtera atas kamu serta rahmat Allah.”
Seraya bersalam, dia berpaling ke arah kanan sekira-kira dapat dilihat pipi kanannya, (oleh orang yang di belakangnya), kemudian dia bersalam pula ke arah kiri dengan membuat sama seperti yang pertama tadi, dan ketika bersalam itu hendaklah dia berniat memberikan salamnya kepada sesiapa yang berada dari para Malaikat dan kaum Muslimin, sama ada pada salam yang pertama begitu juga pada salam yang kedua. Janganlah mengeraskan suaranya, ketika mengucapkan salam itu melainkan sekadar mendengarkan dirinya saja.
LARANGAN2 DALAM SEMBAHYANG
Rasulullah SAW telah melarang seseorang dari memasuki sembahyang, sedangkan dia menahan dari buang air kecil atau buang air besar, atau orang yang memakai khuf (sepatu) yang sempit sebab semua itu akan mengganggu kekhusyukannya dalam sembahyang. Begitu juga orang yang terlalu lapar atau yang terlalu susah hati.
Mengenai orang yang lapar, ada sebuah sabda Rasulullah SAW: “Apabila hidangan makan malam telah tersedia dan sembahyang hendak dimulakan, maka hendaklah kamu memulakan dengan memakan hidangan itu dahulu.”
.
TASYAHHUD
Selesai dua rakaat dari sembahyangnya, dia pun melakukan tasyahhud pertama di mana dia membacakan salawat ke atas Rasulullah SAW dan ke atas keluarganya. Dalam bertasyahhud itu, kedua belah tangannya diletakkan di atas kedua lututnya, sedang semua jari-jari tangan kanannya digenggamkan melainkan jari telunjuk yang harus ditunjukkan ke hadapan ketika sampai membaca 'illallah'. Dalam bertasyahhud awal ini hendaklah dia duduk di atas kakinya yang kiri, seperti cara duduknya antara dua sujud.
Kemudian dalam tasyahhud akhir pula, hendaklah dia membaca kesemua doa-doa yang dituntun dari Rasulullah SAW, iaitu sesudah selesai membaca selawat ke atas Rasulullah SAW dan keluarganya.
Di waktu tasyahhud ini pula, hendaklah dia mendudukkan punggung kirinya sebab sesudah ini tidak perlu bangkit lagi, malah dia tetap duduk saja sehingga selesai sembahyangnya. Selain itu, hendaklah dia meletakkan kaki kanannya di atas kaki kiri, manakala hujung kaki kirinya dikeluarkan sedikit dari bawah kaki kanannya itu.
Setelah selesai semua bacaan dalam tasyahhud ini, dia pun bersalam: “Selamat sejahtera atas kamu serta rahmat Allah.”
Seraya bersalam, dia berpaling ke arah kanan sekira-kira dapat dilihat pipi kanannya, (oleh orang yang di belakangnya), kemudian dia bersalam pula ke arah kiri dengan membuat sama seperti yang pertama tadi, dan ketika bersalam itu hendaklah dia berniat memberikan salamnya kepada sesiapa yang berada dari para Malaikat dan kaum Muslimin, sama ada pada salam yang pertama begitu juga pada salam yang kedua. Janganlah mengeraskan suaranya, ketika mengucapkan salam itu melainkan sekadar mendengarkan dirinya saja.
LARANGAN2 DALAM SEMBAHYANG
Rasulullah SAW telah melarang seseorang dari memasuki sembahyang, sedangkan dia menahan dari buang air kecil atau buang air besar, atau orang yang memakai khuf (sepatu) yang sempit sebab semua itu akan mengganggu kekhusyukannya dalam sembahyang. Begitu juga orang yang terlalu lapar atau yang terlalu susah hati.
Mengenai orang yang lapar, ada sebuah sabda Rasulullah SAW: “Apabila hidangan makan malam telah tersedia dan sembahyang hendak dimulakan, maka hendaklah kamu memulakan dengan memakan hidangan itu dahulu.”
.
Mengenai menutup mulut dengan kain pula, sabdanya yang bermaksud: "Bahawa Rasulullah SAW telah melarang seseorang yang menutup mulutnya di dalam sembahyang."
Al-Hasan pula berkata: "Setiap orang yang bersembahyang sedangkan hatinya tidak hadir bersamanya, maka dia lebih dekat kepada mendapat siksaan."
Seterusnya dimakruhkan atas orang yang sembahyang itu meniup ke tanah ketika dalam bersujud, atau tangannya bermain-main dengan batu di tanah itu, ataupun dia bersandar di tembok sewaktu berdiri dalam sembahyang.
Sebahagian para salaf melarang empat perkara dalam sembahyang:
(1) Menoleh-noleh ke kanan-kiri.
(2) Menyapu-nyapu muka.
(3) Merata-ratakan batu.
(4) Bersembahyang di tempat lalu lintas orang ramai.
MEMBEZAKAN YANG FARDHU DENGAN YANG SUNAT
Apa yang telah kita pelajari terdahulu dari ini termasuk perkara-perkara yang fardhu, yang sunat dan hai’at. Adapun perbuatan-perbuatan yang sunat ialah: Mengangkat kedua tangan pada takbiratul-ihram dan ketika hendak membongkok membuat rukuk, bangkit dari rukuk, dan ketika bangkit dari duduk tasyahhud awal, manakala bertawarruk (duduk dalam tasyahhud akhir) dan duduk beriftirasy (dalam tasyahhud awal) adalah hai’at yang berikutan dengan duduk bertasyahhud tadi, sebagaimana meninggalkan menoleh-noleh itu adalah hai’at bagi berdiri serta memperelokkan rupanya.
Doa-doa atau zikir-zikir yang sunat pula ialah: Doa Iftitah, Ta’awwuz, membaca Amiin, membaca surah-surah, membaca takbir-takbir ketika berpindah dari satu rukun ke rukun yang lain. Membaca zikir-zikir dalam rukuk, sujud, dan I’tidal serta tasyahhud awal. Termasuk sunat juga ialah membaca salawat ke atas Nabi SAW padanya. Dan sunat juga membaca doa dalam tasyahhud akhir serta salam yang kedua. Yang disebutkan di atas kesemuanya sunat, selainnya maka hukumnya wajib.
Ketahuilah bahawasanya sembahyang itu laksana seorang manusia. Rohnya dan nyawanya adalah seperti kekhusyukannya. Kehadiran hatinya serta keikhlasannya seumpama roh manusia dan kehidupannya. Semua rukun-rukun sembahyang diumpamakan seperti gerak-geri hati, kepala dan jantung, sebab tidak ada sembahyang tanpa ada rukun-rukun sembahyang, sama seperti tidak ada manusia tanpa ada hati, kepala dan jantung. Semua sunat-sunat sembahyang pula diumpamakan seperti kedua tangan, kedua mata dan kedua kaki dari manusia, sebab tanpa semua ini kehidupan masih boleh berlaku juga, tetapi manusia yang tiada mempunyai semua anggota ini adalah manusia yang kurang sifat kemanusiaannya, yang dipandang sebagai orang cacat. Demikianlah pula umpamanya dengan sembahyang yang didirikan tanpa sunat-sunat.
Seterusnya hai’at-hai’at sembahyang pula diumpamakan sebagai sebab-sebab yang memperelokkan bentuk daripada bulu kening, janggut, bulu mata dan kebagusan warna dan sebagainya. Maka barangsiapa yang bersembahyang dengan hanya mengerjakan yang wajib-wajib saja, samalah seperti seorang yang menghadiahkan seorang hamba yang kudung kaki dan tangan kepada seorang maharaja.
Ketahuilah bahawa sembahyang itu laksana suatu persembahan atau suatu pengurniaan yang bernilai, yang disembahkan oleh seseorang ke hadhrat maharaja dari segala raja (iaitu Allah SWT). Jadi perkaranya samalah seperti seorang yang menghadiahkan sesuatu jariah (hamba) kepada rajanya dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada raja itu. Padahal hadiah atau persembahan yang dimaksudkan ini, anda dipersembahan Allah azzawajalla, kemudian ia dikembalikan semula kepada anda pada Hari Perkiraaan yang terbesar (Hari Kiamat). Oleh itu, maka perkaranya terserahlah kepada anda untuk memilih, sama ada persembahan itu harus dari yang baik, mahupun yang buruk. Kiranya anda memilih yang baik, maka andalah yang akan menerima akibat baiknya, Jika yang buruk, maka buruk pulalah padahnya.
.
Al-Hasan pula berkata: "Setiap orang yang bersembahyang sedangkan hatinya tidak hadir bersamanya, maka dia lebih dekat kepada mendapat siksaan."
Seterusnya dimakruhkan atas orang yang sembahyang itu meniup ke tanah ketika dalam bersujud, atau tangannya bermain-main dengan batu di tanah itu, ataupun dia bersandar di tembok sewaktu berdiri dalam sembahyang.
Sebahagian para salaf melarang empat perkara dalam sembahyang:
(1) Menoleh-noleh ke kanan-kiri.
(2) Menyapu-nyapu muka.
(3) Merata-ratakan batu.
(4) Bersembahyang di tempat lalu lintas orang ramai.
MEMBEZAKAN YANG FARDHU DENGAN YANG SUNAT
Apa yang telah kita pelajari terdahulu dari ini termasuk perkara-perkara yang fardhu, yang sunat dan hai’at. Adapun perbuatan-perbuatan yang sunat ialah: Mengangkat kedua tangan pada takbiratul-ihram dan ketika hendak membongkok membuat rukuk, bangkit dari rukuk, dan ketika bangkit dari duduk tasyahhud awal, manakala bertawarruk (duduk dalam tasyahhud akhir) dan duduk beriftirasy (dalam tasyahhud awal) adalah hai’at yang berikutan dengan duduk bertasyahhud tadi, sebagaimana meninggalkan menoleh-noleh itu adalah hai’at bagi berdiri serta memperelokkan rupanya.
Doa-doa atau zikir-zikir yang sunat pula ialah: Doa Iftitah, Ta’awwuz, membaca Amiin, membaca surah-surah, membaca takbir-takbir ketika berpindah dari satu rukun ke rukun yang lain. Membaca zikir-zikir dalam rukuk, sujud, dan I’tidal serta tasyahhud awal. Termasuk sunat juga ialah membaca salawat ke atas Nabi SAW padanya. Dan sunat juga membaca doa dalam tasyahhud akhir serta salam yang kedua. Yang disebutkan di atas kesemuanya sunat, selainnya maka hukumnya wajib.
Ketahuilah bahawasanya sembahyang itu laksana seorang manusia. Rohnya dan nyawanya adalah seperti kekhusyukannya. Kehadiran hatinya serta keikhlasannya seumpama roh manusia dan kehidupannya. Semua rukun-rukun sembahyang diumpamakan seperti gerak-geri hati, kepala dan jantung, sebab tidak ada sembahyang tanpa ada rukun-rukun sembahyang, sama seperti tidak ada manusia tanpa ada hati, kepala dan jantung. Semua sunat-sunat sembahyang pula diumpamakan seperti kedua tangan, kedua mata dan kedua kaki dari manusia, sebab tanpa semua ini kehidupan masih boleh berlaku juga, tetapi manusia yang tiada mempunyai semua anggota ini adalah manusia yang kurang sifat kemanusiaannya, yang dipandang sebagai orang cacat. Demikianlah pula umpamanya dengan sembahyang yang didirikan tanpa sunat-sunat.
Seterusnya hai’at-hai’at sembahyang pula diumpamakan sebagai sebab-sebab yang memperelokkan bentuk daripada bulu kening, janggut, bulu mata dan kebagusan warna dan sebagainya. Maka barangsiapa yang bersembahyang dengan hanya mengerjakan yang wajib-wajib saja, samalah seperti seorang yang menghadiahkan seorang hamba yang kudung kaki dan tangan kepada seorang maharaja.
Ketahuilah bahawa sembahyang itu laksana suatu persembahan atau suatu pengurniaan yang bernilai, yang disembahkan oleh seseorang ke hadhrat maharaja dari segala raja (iaitu Allah SWT). Jadi perkaranya samalah seperti seorang yang menghadiahkan sesuatu jariah (hamba) kepada rajanya dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada raja itu. Padahal hadiah atau persembahan yang dimaksudkan ini, anda dipersembahan Allah azzawajalla, kemudian ia dikembalikan semula kepada anda pada Hari Perkiraaan yang terbesar (Hari Kiamat). Oleh itu, maka perkaranya terserahlah kepada anda untuk memilih, sama ada persembahan itu harus dari yang baik, mahupun yang buruk. Kiranya anda memilih yang baik, maka andalah yang akan menerima akibat baiknya, Jika yang buruk, maka buruk pulalah padahnya.
.
InsyaAllah bersambung...
(Petikan: Kitab 'Bimbingan Mukmin' oleh Hujjatul Islam Al-Ghazali)
.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan